Blusukan nang Gunung Penanggungan
(ketinggian 1.653 meter di atas permukaan laut)
Alhamdulillah sampai juga di Tamiajeng, sebuah desa dimulainya pendakian menuju gunung Penanggungan (perbatasan Trawas -Mojokerto- dan Pasuruan Jatim). Akh Faruq, Arif dan Burhan -ketiganya mahasiswa STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya- Abu Nabil, Abu Umaina, akh Yudit, Dian dan Husein, mereka dari kelompok Futsal masjid al-Amin Semampir, dan saya sendiri, kami bersembilan sudah bersiap-siap dengan perbekalan masing-masing untuk memanfaatkan libur akhir pekan dengan “blusukan” di hutan menuju puncak Penanggungan. Sebuah fenomena yang jauh lebih selamat dan solusi apik dari pada nge-mall atau jalan “ngalor ngidul” nggak ada tujuan.
Pendakian pun dimulai. Hari mulai gelap, namun dengan santai kami terus menelusuri lereng gunung Penanggungan. Berbagai macam jenis tumbuhan dan pepohonan menyambut hangat kehadiran kita senja itu. Kami sudah siap dengan senter masing-masing. Semakin masuk ke dalam hutan semakin tak terdengar suara kebisingan masyarakat desa. Yang tersisa hanyalah suara berisik hewan malam di tengah hutan yang semakin menambah ramai suasana. “Jadi ingat suasana desa rumah mbahku,” gumamku dalam hati.
Kami terus berjalan. Sesekali dua kali -bahkan berkali-kali- kami duduk istirahat, memanfaatkan waktu sejenak untuk memulihkan tenaga sambil nyeruput air seperlunya. Hari semakin gelap, semakin naik ke atas semakin tak tercium bau kehidupan masyarakat desa. Kita pun terus berusaha dengan hati-hati mengangkat kaki selangkah demi selangkah menuju daerah yang lebih tinggi.
Keistimewaan gunung ini, hampir tidak ada jalan datar sebagai bonus bagi pendaki. Rutenya selalu naik dan terus naik, sehingga lumayan menguras tenaga apalagi bagi pemula. Tapi, nikmati saja, santai tapi pasti, jangan dirasa, insyaAllah dimudahkan sama Allah Yang Maha Kuasa.
Singkat cerita, terus dan terus naik, sekitar pukul 21.00 sampailah kita di pos terakhir pendakian, di situlah kami beristirahat sebelum besok fajar melanjutkan pendakian ke puncak yang masih sekitar 1,5 jam-an dari tempat kita nge-camp. Setelah mendirikan dua buah tenda, ngemil, nge-mie dan nge-kopi seperlunya, kamipun tidur terlelap bersama dinginnya suasa malam gunung penggungan. Namun, pelukan erat gunung yang berdekatan dengan gunung Wilerang dan Arjuno ini menjadikan suasana semakin hangat dan bersahabat.
view matahari nongol dari pos terakhir
Keesokan pagi, sekitar pukul 05.30, kami berdelapan -akh Faruq tidak ikut serta- melanjutkan pendakian menuju puncak gunung penanggungan. Dari sinilah, medan menuju ke puncak lumayan terjal. Sering kali kita merangkak, sekali dua kali kita berjalan. “MasyaAllah, tenaga benar-benar terkuras rek.”
suasana pos terakhir tempat para pendaki ngecamp
“Hhmm…subhanallah, indahnya pemandangan alam ciptaan Allah,”. Puncak semeru dengan perbukitan Pananjakan, gunung Wilerang, Arjuno, dan Anjasmoro tampak dengan begitu jelasnya. Makanya kesempatan istimewa dari Allah ini tidak akan aku sia-siakan. Ku keluarkan senjataku dari balik celana, dan jeprat, jepret, jeprot, berbagai gaya lukisan alam karya agung Allah Sang Maha Pencipta tersimpan rapi di dalam hp sederhanaku ini.
berkeliling di puncak penanggungan dengan background gunung wilerang dan arjuno
Semua ikhwan sudah sampai puncak, tinggal aku yang tersibukan dengan mengabadikan setiap panorama di sekitarku. Ada gua yang bisa diisi hingga 6 orang, bebatuan besar, tumbuhan unik nan apik, dan sederet landscap lainnya.
tuh, puncak penanggungan terlihat dari pos terakhir tempat ngecamp
“Haduh, indah nian, muantebs rek, alhamdulillah, akhirnya kaki lemahku ini berhasil berkenalan dengan puncak gunung penanggungan.” Baru tiga kali rasanya kaki ini berkenalan dengan puncak seperti ini; gunung Gede di Puncak, gunung Wilerang, dan Penanggungan. Adapun gunung yang beranak tangga, alhamdulillah sudah pernah ke gunung Tangkuban Perahu di Bandung, gunung Galunggung di Tasikmalaya, gunung Kelud di Blitar/Kediri, dan berkali-kali ke gunung Bromo di Jatim. Pernah juga naik motor sampai puncak bukit/gunung telomoyo di salatiga.
tampak puncak semeru sangat kecil dari dalam gua di lereng penanggungan
Setelah sekitar 1 jam-an bermesraan dengan indahnya panorama di puncak Penanggungan, dan setelah jeprat jepret jeprot view alam semesta, akhirnya kita turun menuju pos peristirahatan terakhir. Tidak sampai satu jam kita sudah sampai di lokasi. Dan setelah beristirahat kurang lebih 1 jam-an sambil kemas-kemas tenda dan barang pribadi, akhirnya kita turun gunung menuju pos pertama di desa Tamiajeng. Sekitar 2 jam-an, akhirnya kita sampai ke tempat di mana kita memulai pendakian. Walhamdulillah.
turun dari puncak penanggungan menuju pos tempat ngecamp
Sangat lelah memang, pegal linu pun begitu terasa di kaki. Tapi semua itu terobati dengan Oleh-Oleh Akhir Pekan Istimewa dari Allah ta’ala. Berbagai macam pemandangan panorama di sekitar gunung Penanggungan sudah tersimpan rapi di hp-ku ini.
“Terima kasih, ya Allah, telah mengizinkan hamba-Mu yang lemah ini untuk menikmati indahnya alam semesta Ciptaan-Mu.”
“Tuk ikhwan semua, jazaakumullah khoiron, telah sabar menunggu diriku yang selalu terlambat, lumayan rek, 85 kg. Btw, kapan kita jalan lagi? tak tunggu yo.”
Coretan penting:
1). Jalan santai dari Pos pertama di desa Tamiajeng sampai puncak sekitar 5 jam-an. Sangat disarankan untuk menginap di pos terakhir bukan di puncak, karena medan dari pos terakhir menuju puncak lumayan terjal, sehingga beban berat tas yang berisi perlengkapan akan sangat terasa.
2). Di gunung Penanggungan tidak ada sumber air, jadi bekal air hendaknya diperbanyak. Kami bersembilan masing-masing membawa dua botol besar air mineral, dan alhamdulillah sudah sangat cukup.
3). Selain di lereng menuju puncak, di puncak juga ada gua yang bisa di isi oleh 3-4 orang. Namun sayangnya, ternyata tempat itu dijadikan sebagai ritual kesyirikan. Kami sendiri menemukan sesaji; dua buah kelapa muda dan dua sisir pisang yang mulai busuk. Ketika kami turun, di tengah perjalanan kami bertemu dengan rombongan sekitar 7-8 orang yang sudah berumur 40 an, mereka menuju puncak dengan membawa barang-barang ritual, ada kembang api (mungkin itu dupa), benda yang dibungkus kain batik, de el el. Begitulah fenomena pegunungan di sekitar kita. Sebuah kenikmatan dari Allah ta’ala yang dimanfaatkan untuk ritual kesyirikan, naudzubillah min dzalik.
fenomena kesyirikan dalam gua di puncak gunung Penanggungan
Selamat mendaki, ya ikhwan!
gaya bahasanya bikin ana tersenyum membacanya ustadz… : )
MasyaAllah.. baarokallahufik.. : )
hehe..wa fiika baarokallahu.
Reblogged this on wisuda20.
Semoga bermanfaat ya…. Syukron wisuda.
“kami bersembilan sudah bersiap-siap dengan perbekalan masing-masing untuk memanfaatkan libur akhir pekan dengan “blusukan” di hutan menuju puncak Penanggungan. Sebuah fenomena yang jauh lebih selamat dan solusi apik dari pada nge-mall atau jalan “ngalor ngidul” nggak ada tujuan.”
ARGUMEN YANG AMAT SANGAT TERLALU S U B J E K T I F ! ! ! !
Dan menjustifikasi pihak lain..!
Alias Gak hikmah banget………..!
Terima kasih telah mengingatkan. Semoga selanjutnya bisa lebih hikmah. Semoga Allah membuka pintu hidayah-Nya bagi kita semua. aamiiin.
to rian : kliatan banget kalo suka ngemal/ngalor ngidul, itu kan hanya catatan kecil seorang ustadz
To abu musa : anda lugu banget, i like your personality
ust,lebih baik baca kitab di rumah sambil ngopi,ngeteh de el el drpd capek2 naek gunung…
Jazaakallahu khoiron atas nasihatnya. Semoga Allah memudahkan bagi saya dan antum semua untuk senantiasa menuntut ilmu agama plus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Baarokallahu fiikum wa waffaqokum.
jadi ngiri nih
ayo jalan bareng-bareng, biar ngiri-nya ilang.