Menggapai Lailatul Qadar

Lailatul qadar adalah suatu malam yang memiliki keutamaan agung yang begitu banyak, yang mana malam tersebut merupakan malam bulan Ramadhan yang paling utama dan paling baik. Cukuplah bagi kita al-Qur`an yang telah Allah ta’ala turunkan padanya sebuah surat yang bernama surat al-Qadr. Kemudian, oleh karena begitu mulia dan utama malam tersebut, Imam al-Bukhari membuat sebuah kitab khusus dalam Shahihnya yang ia beri judul; Kitab Fadhl Lailah al-Qadr (Kitab: Keutamaan Lailatul Qadar).

Di antara keutamaannya ialah, Allah menurunkan al-qur`an pada malam lailatul qadar, merupakan malam penuh berkah, lebih baik dari seribu bulan, malaikat turun pada malam itu, pada malam itu keamanan dan kesejahteraan meliputi orang-orang yang beriman, dan malaikat senantiasa mendoakan keselamatan bagi mereka. (Baca surat al-Qadr: 1-5 dan ad-Dukhan: 3)

Di antara keutamaanya yang lain, qiyamullail pada malam itu dapat menjadi pelebur dosa yang telah lalu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيـمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barang siapa yang mengerjakan qiyâmullail pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaihi)

Selain dari itu, doa pada malam itu mustajab (terkabulkan). Syaikh Abdullah Alu Bassam rahimahullah bertutur: Sudah sepatutnya, pada malam malam lailatul qadar doa dan istighfar diperbanyak, sebab doa pada malam itu mustajab. (Taudhih al-Ahkam, juz 3, hal. 240)

PENENTUAN WAKTU LAILATUL QADAR

Lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan. Hanya saja, para ulama berselisih dalam menentukan waktu pasti terjadinya lailatul qadar. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fath al-Bari: Ulama berselisih hebat dalam menentukan kapan waktu lailatul qadar, dan kami berhasil menghimpun dari madzhab-madzhab mereka lebih dari empat puluh pendapat. (Jilid 4, hal. 330-335)

Syaikh Abdullah Alu Bassam rahimahullah berkata dalam kitabnya Taudhih al-Ahkam berkata: Pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan menjadi empat kelompok besar: Pertama: Pendapat yang tertolak, seperti perkataan yang mengingkari atau menyatakan lailatul qadar sudah terangkat (tidak ada lagi setelah dahulu ada). Kedua: Pendapat lemah, seperti perkataan bahwa lailatul qadar ada pada pertengahan bulan Sya’ban. Ketiga: Pendapat kurang kuat, seperti pendapat yang menyatakan bahwa lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan, namun bukan pada sepuluh hari terakhir. Keempat: Pendapat yang terkuat, yaitu yang meyakini lailatul qadar terjadi pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dan yang paling kuat adalah pada malam-malam ganjilnya, dan yang terkuat dari malam ganjil adalah pada malam kedua puluh tujuh. (Jilid 3, hal. 237)

Pendapat Bagus Seputar Pembahasan

Dalam kitab Shifah Shaum an-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan:

● Telah datang keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa lailatul qadar dapat terjadi pada malam ke-21, 23, 25, ,27, 29, dan malam terakhir dari bulan Ramadhan.

● Dan pendapat paling kuat adalah yang menyatakan bahwa lailatul qadar terjadi pada malam-malam ganjil bulan Ramadhan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendekati malam-malam terakhir bulan Ramadhan beliau berkata:

تَحَرَّوْا [وَفِي رِوَايَةٍ: اِلْتَمِسُوْا] لَيْلَةَ القَدْرِ فيِ [الوِتْرِ مِنَ] العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.

“Berusahalah mencari lailatul qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari & Muslim)

● Apabila seorang hamba lemah atau dalam kondisi kurang fit, maka janganlah ia sampai lengah (dari mencarinya) pada tujuh malam terakhir. Dalilnya adalah keterangan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِلْتَمِسُوْهَا فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ، فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُم أَوْ عَجِزَ فَلاَ يَغْلِبَنَّ عَلَى السَّبْعِ البَوَاقِيْ.

“Berusahalah untuk mencarinya pada sepuluh hari terakhir, apabila seorang dari kalian lemah atau kurang fit, maka jangan sampai ia lengah pada tujuh hari terakhirnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Fatwa Ulama Seputar Pembahasan

1. Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang lailatul qadar, ketika beliau dalam penjara tahun 706 H (Majmu’ al-Fatawa, juz 25, hal. 284-286):

Beliau menjawab: “Segala puji hanya milik Allah subhanah. Lailatul qadar ada pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana kabar shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

هِيَ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.

“(Lailatul qadar) ada pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.”

Dan ia ada pada malam-malam ganjilnya. Namun perhitungan ganjil tersebut dapat dilihat dari hari yang berlalu (dari depan), sehingga bisa dicari pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29. Atau dapat pula dilihat dari hari yang tersisa (dari belakang), sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لِتَاسِعَةٍ تَبْقَى لِسَابِعَةٍ تَبْقَى لِخَامِسَةٍ تَبْقَى لِثَالِثَةٍ تَبْقَى.

“(Yakni) pada malam kesembilan yang tersisa, kelima yang tersisa, dan ketiga yang tersisa.”

Dengan demikian, apabila bulan tersebut berjumlah 30 hari, maka lailatul qadar ada pada malam-malam genap. Sehingga malam ke-22 adalah malam ke-9 yang tersisa, malam ke-24 adalah malam ke-7 yang tersisa, dan seterusnya, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dalam hadits shahih, dan begitu pula yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebulan itu. (HR. Bukhari)

Namun apabila bulan itu berjumlah 29 hari, perhitungan dari belakang sama dengan dari depan. Kalau memang perhitungannya demikian, sepatutnya seorang mukmin mencarinya pada sepuluh malam terakhir seluruhnya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

تَحَرَّوْهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ.

“Carilah (lailatul qadar) pada sepuluh hari terakhir.”

Namun kemungkinan terbesarnya ada pada tujuh hari terakhir, dan yang lebih besar lagi pada malam ke-27, sebagaimana dahulu Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu sampai bersumpah bahwa lailatul qadar terjadi pada malam ke-27. Ketika ditanya, dengan apa engkau dapat mengetahuinya, ia menjawab: Dengan tanda yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan kepada kita. Beliau mengabarkan bahwa pada pagi harinya matahari terbit seperti nampan tak bersinar.”

2. Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata: Lantas, malam keberapa sajakah yang merupakan bilangan ganjilnya? Jawabnya adalah: (Malam) ke-21, 23, 25, 27, dan 29, lima malam tersebut yang sangat diharapkan, namun ini tidak berarti bahwa lailatul qadar tidak ada kecuali pada malam ganjil, akan tetapi mungkin ada pada malam ganjil dan malam genap. (asy-Syarh al-Mumti’, juz 6, hal. 494)

TUNTUNAN NABI DALAM MENGHIDUPKAN LAILATUL QADAR

Barang siapa yang terhalang dari beribadah pada malam lailatul qadar, sungguh ia telah terhalang dari kebaikan seluruhnya, dan tidaklah terhalang dari kebaikan malam itu kecuali orang yang mahrum (terhalang dari kebaikan). Oleh karenanya, setiap muslim sangat dianjurkan untuk menghidupkan lailatul qadar dengan penuh iman dan mengharap pahala yang dijanjikan. Sehingga apabila ia ikhlas melaksanakannya, dosa dan kesalahan yang pernah ia goreskan di masa lalu dapat terampuni.

Di bawah ini, beberapa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghidupkan malam lailatul qadar.

Pertama: Bersungguh-sungguh, optimis, dan antusias dalam mencari Lailatul Qadar.

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu begitu semangat (beribadah) pada sepuluh hari terakhir yang tidak pernah beliau lakukan pada hari selainnya. (HR. Muslim no. 1175)

Kedua: Menghidupkan malam dengan Qiyamullail.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ قَام لَيْلَةَ القَدْرِ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barang siapa mengerjakan qiyamullail pada malam lailatul qadar karena keimanan dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaihi)

Ketiga: Memperbanyak doa.

Berdoa dan memperbanyak doa pada malam lailatul qadar sangat dianjurkan sekali. Terutama dengan doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Aisyah pernah bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ya Rasulullah, bagaimana menurutmu, apabila ada suatu malam yang aku yakini sebagai malam lailatul qadar, apa yang aku ucapkan? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

قُولِي: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.

“Ucapkanlah doa: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, suka memaafkan, maka maafkanlah aku.” (Hadits Shahih. HR. Ahmad, Timidzi, dll.)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata: Hadits tersebut mengandung dalil dianjurkannya doa pada malam itu dengan beberapa untaian kalimat di atas. (Nail al-Authar, jilid 2, hal. 346)

Abdullah Alu Bassam rahimahullah bertutur: Doa tersebut adalah doa paling afdhal yang dipanjatkan untuk memohon (sesuatu) kepada Allah ta’ala.(Taudhih al-Ahkam, juz 3, hal. 239)

Keempat: Menghidupkan lailatul qadar dengan ibadah dan mengajak keluarga untuk ikut beribadah.

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata: Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki sepuluh malam terakhir beliau mengencangkan tali sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. (HR. Bukhari no. 2204, Muslim no. 1174)

Asy-Syaukani rahimahullah bertutur: Hadits tersebut mengandung dalil disyariatkannya konsisten mengerjakan qiyamullail pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, menghidupkannya dengan ibadah, menjauhi istri, dan mengajak keluarga untuk memperbanyak ketaatan. (Nail al-Authar, juz 2, hal. 345)

Semoga Allah ta’ala mempertemukan kita dengan malam lailatul qadar dalam naungan iman, takwa, dan ittiba’ kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *