Di antara cara jitu dalam menuntut ilmu sekaligus trik manjur untuk membunuh rasa jemu adalah dengan membaca kisah nyata atau cerita pada pendahulu. Darinya kita dapat mengambil banyak pelajaran. Kita dapat mencontoh sifat baik yang disampaikan atau menjauhi sifat buruk yang disuguhkan. Oleh karenanya, berikut kami bawakan lima kisah yang semoga berisi sarat faedah. Selamat menyimak.
Mana yang lebih Menakjubkan?
Di antaranya adalah kisah beberapa penduduk kota Baghdad dengan Muhammad bin Abdul Wahid al-Bawardi Abu ‘Amr az-Zahid (wafat 345 H). Ia terkenal dengan kekuatan hafalannya yang luar biasa. Apabila ditanya tentang sebuah perkara maka dia akan menjawab dengan jawaban dari dirinya sendiri alias mengarang jawaban atau berdusta. Anehnya, bila ditanya lagi tahun depannya ia bisa menjawab dengan jawaban yang sama seperti jawaban sebelumnya. Hafalan kuat namun pandai berdusta.
Ada sebuah riwayat, disebutkan bahwa sekelompok penduduk Baghdad melewati sebuah jembatan, lalu mereka mengingat kedustaan yang dilakukan Abu ‘Amr. Seorang dari mereka berkata: “Aku akan balik kalimat قنطرة (qontoroh/jembatan) menjadi هرطنق, lalu aku akan tanyakan artinya kepada dia.”
Ketika mereka menemui Abu ‘Amr, orang itu bertanya: “Syaikh apa arti kata هرطنق dalam bahasa Arab? Lalu ia menjawabnya dengan panjang lebar. Orang-orang tertawa mendengarnya lalu mereka izin pergi.
Setelah berlalu satu bulan, mereka mengirim utusan untuk menanyakan kata yang sama kepada Abu ‘Amr, namun ia menjawab: “Bukankah aku pernah ditanya seputar masalah ini dahulu, bla bla bla?!” tapi kemudian dia menjawab dengan jawaban persis seperti jawaban yang sebelumnya sebulan lalu. Mendengar hal itu orang-orang berkata: “Kami tidak tahu, mana yang lebih mengherankan dari dua hal tersebut; apakah kuatnya hafalannya bila itu ilmu, atau dari dustanya bila ia berdusta?!
Sang Pengarang
Kisah selanjutnya masih dari Abu ‘Amr az-Zahid. Dihikayatkan bahwa Mu’izz ad-Daulah Ibnu Buwaih mengangkat seorang berkebangsaan Turki untuk menjadi kepala polisi di Baghdad, namanya خواجا (khowaajan). Kabar tersebut sampai kepada Abu ‘Amr az-Zahid. Pada waktu itu ia sedang mendikte kitabnya al-Yawaaqiit dalam bidang bahasa. Lalu ia berkata kepada para jamaah di majelisnya: “Tulislah Yaaquutah khowaajan (ياقوتة خواجا), al-khowaaj asal bahasanya dari kata al-Juu’/lapar (الجوع). Kemudian dia mendiktekan akar kata tersebut. Ketik itu orang-orang sudah merasakan kalau ia telah berdusta.
Pertanyaan dan Jawaban sama-sama Dusta
Adalah Sha’id bin al-Hasan al-Baghdadi (wafat tahun 417), sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir rahimahullah, meski ia fasih namun dituduh banyak berdusta. Maka itu orang-orang menolak kitabnya dalam bidang bahasa yang berjudul al-Fushuush, sehingga kitab tersebut tidak masyhur di tengah manusia.
Dia adalah orang yang lucu dan begitu cepat menjawab pertanyaan. Pernah suatu ketika di majelis ada laki-laki buta bertanya kepadanya tentang arti dari kata al-Haronqol (الحرنقل) yang sengaja ia buat asal-asalan. Lalu Sha’id sesaat menundukkan kepalanya, ia tahu bahwa lelaki buta itu mengarang-ngarang kalimat itu, kemudian ia mengangkat kepalanya dan menjawab: “Artinya adalah, laki-laki yang mendatangi wanita yang suaminya buta.” Para hadirin pun tertawa mendengarnya, sedangkan lelaki buta itu malu sendiri. Inilah yang namanya balasan sesuai dengan perbuatan. Meski keduanya sama-sama tidak baik.
Banyak Koleksi Buku namun Miskin Ilmu
Abul Abbas Ahmad bin Ali al-Abar bercerita: “Aku pernah melihat seorang berkumis tipis di daerah al-Ahwa’, aku kira dia membeli banyak kitab yang penuh berisi fatwa-fatwa. Ketika orang-orang (di sekitar) sedang membicarakan tentang ahlul hadis, ia berkata:”Mereka tidak ada apa-apanya, tidak bisa menandingi yang lainnya.”
Lalu aku berkata kepadanya, “Salat kamu pasti tidak baik ya?” Dia bertanya untuk meyakinkan, “Maksudmu, saya?!!”
Aku menjawab: “Iya, apa kamu hafal hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang doa iftitah dan mengangkat tangan ketika takbir?” mana hadis yang kamu hafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meletakkan tangan di atas lutut?! Terus mana juga hadis yang engkau hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud?!”
Ia pun terdiam. Aku berkata lagi, “Mengapa engkau tidak mau berbicara?! Bukankah aku telah mengatakan salatmu tidak baik?! Engkau bisanya hanya ikut-ikutan saja, ketika disampaikan kepadamu bahwa salat subuh dua rakaat dan salat zuhur empat rakaat, engkau menurut saja.! Maka itu, mendalami hal tersebut lebih baik dari pada dirimu membicarakan para ulama hadis, justru engkau yang tidak ada apa-apanya, bahkan tidak bisa apa-apa.!”
Ketika menerjemahkan kisah ini, teringat aku dengan peristiwa sekitar sebelas tahun silam, tepatnya tahun 2002, ketika ada daurah muqabalah yang diisi oleh para dosen Universitas Islam Madinah di Ma’had Taruna al-Qur’an Jogja. Waktu itu ada segelintir orang yang mendekati seorang Syaikh di sana dan menyampaikan sebuah pertanyaan kepada beliau. Mereka bertanya perihal Syaikh Robi’ waffaqohullah yang tidak lagi menjadi barisan pengajar di Universitas Islam Madinah, apakah sebabnya?
Seketika itu Syaikh tersebut marah dan mengatakan, “Kamu sudah tahu rukun-rukun salat? Itu lebih baik bagi dirimu dari pada mengurusi permasalahan ulama,” demikian kira-kira jawaban dari beliau. Mereka pun malu dan diam seribu bahasa.
Serupa dengan kisah di atas, tidak hafal satu hadis tentang gerakan salat sudah berani mencela ulama hadis. Yang ini belum paham rukun-rukun salat malah menyibukkan diri dengan urusan orang lain yang tidak penting baginya. Allahul-musta’aan.
Anti Fanatik
Dahulu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah membenci berdebat dengan ahlu bid’ah. Imam al-Ghazali rahimahullah menghikayatkan di dalam kitabnya al-Munqizh bahwa beliau mengingkari karya al-Harits al-Muhasibi rahimahullah yang membantah Muktazilah.
Al-Harits mengatakan: “Membantah bid’ah hukumnya wajib.”
Imam Ahmad menjawab: “Iya, benar. Namun engkau menyebutkan syubhat mereka baru kemudian membantahnya. Dikhawatirkan orang-orang hanya membaca syubhatnya saja dan tidak menoleh kepada jawabannya.”
Al-Ghazali berkomentar seraya menunjukkan sikapnya, “Apa yang disebutkan oleh Ahmad itu benar apabila syubhatnya belum menyebar dan masyhur di tengah manusia. Namun jika sudah menyebar, maka syubhat itu wajib dijawab. Tentu saja tidak mungkin bisa dijawab melainkan disebutkan syubhatnya terlebih dahulu.”
Catatan:
Beberapa perkataan dan kisah nyata di atas diambil dari dua kitab al-Ta’aalum wa Atsaruhu ‘alaa al-Fikri wa al-Kitab dalam al-Majmuu’ah al-‘Ilmiyyah karya Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zayd rahimahullah, cetakan Dar al-‘Ashimah.
Kalisari, 15 al-Muharram 1435 H/ 19 November 2013
Abu Musa al-Atsari