Menutup Kepala Merupakan Kebiasaan Salaf
Syaikh Husnin Muhammad Makhluf di kitab al-Adillah asy-Syar’iyyah menjelaskan: “Tidak pernah ada penukilan yang sampai kepada kita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu duduk di tengah-tengah para sahabatnya, berjalan di jalanan, berkhutbah, atau berperang dalam keadaan kepala terbuka tanpa mengenakan sorban atau peci. Siapa yang menyatakan beliau pernah melakukannya hendaklah ia mendatangkan bukti (dalil).” (al-Muru’ah wa Khowarimuha, hal. 145)
Abu Bakar Ibnul ‘Arobi rahimahullah menuturkan: “Sesungguhnya sorban adalah sunnah para Rasul, dan sebaik-baik Rasul adalah Sayyiduna Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi sorban termasuk sunnah beliau.” (al-Muru’ah wa Khowarimuha, hal. 146)
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Bukan termasuk perbuatan baik pada ‘urf kaum salaf, membiasakan membuka penutup kepala dan berjalan di jalanan dalam keadaan seperti itu, demikian pula masuk ke tempat-tempat ibadah. Ini adalah kebiasaan orang asing yang masuk secara perlahan-lahan ke negeri-negeri Islam tatkala orang-orang kafir masuk ke dalamnya, sehingga mereka mencontohkan kebiasan-kebiasan yang tidak baik, lalu diikuti oleh kaum muslimin.” (Tamamul Minnah fi Ta’liq ‘ala Fiqh as-Sunnah hal. 164)
Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman hafizhahullah mengatakan: “Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh beliau dahulu senantiasa mengenakan sorban dan peci, inilah petunjuk beliau, maka antusiaslah dalam mengamalkannya.” (al-Muru’ah wa Khowarimuha, hal. 146)
Perhatikan nukilan al-‘Izz bin Abdussalam di kitabnya at-Tamhid ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia dan sedang dimandikan. Beliau menuturkan: “Dalam redaksi lain disebutkan bahwasanya al-‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berada di pintu dan tidak ikut memandikan beliau, dia berkata: ‘Tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk ikut memandikan beliau selain pengetahuanku bahwa beliau malu ketika terlihat olehku tanpa mengenakan penutup kepala.’” (al-Muru’ah wa Khowarimuha, hal. 148)
Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman hafizhahullah juga berkata: “Petunjuk salafush shalih adalah antusias dalam menutupi kepala, tidak ada riwayat seorangpun dari mereka yang berjalan dengan kepala terbuka.” (al-Muru’ah wa Khowarimuha, hal. 145)
Berada Di Tengah Manusia Tanpa Mengenakan Penutup Kepala
Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman hafizhahullah menjelaskan bahwa sebagian ahli fikih menganggap bahwa hal tersebut (berada di tengah manusia tanpa mengenakan penutup kepala) termasuk khowarimul muru’ah (perkara yang mencela perangai atau akhlak mulia seseorang).
Dari perkataan mereka dapat disimpulkan bahwa perbuatan ini dapat menjatuhkan muru’ah seseorang dengan beberapa syarat berikut:
- Tidak dalam keadaan ihram untuk berhaji atau umroh.
- Berada di tengah-tengah manusia.
- Tanpa ada udzur seperti sakit atau pekerjaan yang menuntut untuk melepasnya.
- Dilakukan oleh orang yang tidak sepatutnya melepaskannya.
- Berada di suatu tempat, bila ia melepaskannya maka dianggap kurang etika dan tidak punya rasa malu.
- Yang melakukannya adalah laki-laki. (al-Muru’ah wa Khowarimuha, hal. 143-144)
Hukum Sholat Tanpa Memakai Penutup Kepala
Ibnul ‘Arobi rahimahullah menjelaskan: “Barang siapa yang sholat dengan penutup kepala maka dia telah melakukan yang paling sempurna. Dan barang siapa yang sholat tanpa mengenakan penutup kepala maka sholatnya tetap sah, namun dia kurang dari sifat kesempurnaan.” (al-Muru’ah wa Khowarimuha, hal. 147)
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: “Menurutku sholat tanpa penutup kepala hukumnya makruh, karena termasuk perkara yang bisa diterima adalah anjuran bagi seorang muslim untuk memulai sholat dalam kondisi islami yang paling sempurna, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya (seseorang) paling berhak berhias diri untuk Allah”.” (Tamamul Minnah, hal. 164)
Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman hafihzhullah berkata: “Dibolehkan sholat dengan tanpa penutup kepala bagi laki-laki, namun bagi wanita kepala adalah aurat (tentu tidak boleh). Hanya saja orang yang sholat dianjurkan memakai pakaian paling sempurna dan patut baginya, dan di antaranya adalah mengenakan penutup kepala dengan sorban, peci, kopiah, atau benda semacamnya yang biasa dikenakan penduduk negerinya.” (al-Qoul al-Mubin, hal. 56)
Beliau juga menuturkan: “Membuka penutup kepala tanpa udzur hukumnya makruh, terutama ketika melaksanakan sholat fardhu, apalagi bersama jama’ah.”(al-Qoul al-Mubin, hal. 56)
Antara Peci, Kopiah Dan Sorban
Ibnul ‘Arobi rahimahullah menuturkan: “Dewasa ini penutup kepala banyak jenisnya, mulai dari sorban, thurbusy (topi tarbush), hingga peci, sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga beragam mulai dari sorban, peci, hingga keduanya. Sepatutnya diketahui bahwa yang menjadi ukuran keutamaan (afdhaliyyah) adalah menutup kepala dengan penutup kepala yang ma’ruf (di daerah masing-masing).” (al-Muru’ah wa Khowarimuha, hal. 147)