Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan kepada kita dalam banyak ayat al-Qur`an bagaimana kesudahan suatu kaum yang menyelisihi perintah rasul-Nya, bermaksiat kepadanya dan menentang ajaran dan aturan yang ia bawa.
Kaum Nabi Nuh a’aihissalam Allah binasakan dengan banjir yang tiada duanya. Raja Firaun lantaran kalimat kufur yang keluar dari mulutnya dan enggan taat kepada Nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalam, Allah binasakan ia dan kaumnya dengan gulungan air laut. Tsamud kaum Nabi Saleh ‘alaihissalam, ‘Aad kaum Nabi Hud ‘alaihissalam dan kaum-kaum nabi-nabi yang lain yang bermaksiat kepada nabi utusan, semuanya Allah binasakan dengan azab yang begitu mengerikan.
Kisah nyata tersebut tidaklah Allah sebutkan di al-Qur`an begitu saja tanpa faedah atau tujuan. Justru faedahnya begitu melimpah, di antaranya adalah agar kita mengambil pelajaran bahwa siapa saja yang meragukan, durhaka, melecehkan, membenci, mencela, mengingkari, menentang dan memusuhi setiap rasul yang Allah utus pasti ada akibatnya cepat atau lambat.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Yusuf: 111)
“Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah diusahakan dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-Baqarah: 134)
BALASAN DI DUNIA
Allah telah memperingatkan umat ini agar tidak menyelisihi perintah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasulullah) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. an-Nur: 63)
Siapa saja yang mencela atau melecehkan salah satu ajaran atau sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, sadar atau tidak dia telah membenci agama Islam. Dan konsekuensinya adalah Allah akan menimpakan azab kepadanya, mungkin di dunia, mungkin di akhirat, atau mungkin juga di dunia dan di akhirat. Dan Allah Maha Mengetahui segala gerak-gerik setiap hamba-Nya.
Di bawah ini, kami akan suguhkan beberapa kisah aneh yang pernah menimpa orang-orang sebelum kita lantaran keraguan mereka terhadap ajaran Islam atau sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyelisihi, melecehkan, mengolok-olok atau bahkan mengingkarinya. Semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.
(1). Rupa Berubah Keledai
Ibnu Hajar rahimahullah pernah menyampaikan cerita tentang sebagian penuntut ilmu, bahwasanya ada di antara mereka yang melakukan perjalanan ke Damaskus untuk menimba hadis dari seorang Syaikh tersohor yang ada di sana. Lalu ia pun belajar dan membacakan beberapa hadis di hadapan Syaikh tersebut. Akan tetapi Syaikh itu selalu membatasi antara diri dengan murid-muridnya dengan sebuah tabir, sehingga mereka tidak dapat melihat wajahnya secara langsung.
Ketika seorang murid tersebut telah lama mengambil ilmu darinya, dan ia mengetahui betapa antusias murid yang satu ini, akhirnya ia membuka tabir agar muridnya itu dapat melihat wajahnya. (Setelah dibuka) ternyata rupa Syaikhnya berwujud keledai.
Kemudian Syaikh tersebut berkata seraya menasihati: “Berhati-hatilah wahai muridku dari mendahului imam (dalam salat), karena sesungguhnya aku pernah membaca sebuah hadis dan aku menganggap hal itu tidak mungkin terjadi. Lalu aku pun mendahului imam dan ternyata wajahku berubah seperti yang engkau lihat sekarang ini. [al-Qaul al-Mubin fi Akhta` al-Mushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, hlm. 252, cetakan Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibn Hazm]
Hadis yang dimaksud berbunyi:
أَمَا يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ.
“Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan merubah kepalanya menjadi kepala keledai?! (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah merahmati Syaikh dan mengampuni dosanya. Meskipun ia pernah meragukan sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun alhamdulillah ia bertaubat kepada Allah dan menasehati murid-muridnya agar tidak meragukan, melecehkan atau menentang sunnah yang datang dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(2). Kaki Lumpuh Seketika
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Ahmad bin Marwan al-Maliki bercerita dalam kitabnya al-Mujalasah: Zakaria bin Abdurrahman al-Bashri pernah bercerita kepadaku: Aku pernah mendengar Ahmad bin Syu’aib bertutur: Kami pernah menghadiri majlis ilmu ulama hadits. Kemudian ia bercerita kepada kami hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ
“…Dan sesungguhnya malaikat-malaikat meletakkan sayapnya karena ridha kepada penuntut ilmu.” (Hadits shahih. Lihat: Shahih Abi Dawud, no. 3641, Shahih Ibn Majah, no. 223, Shahih at-Tirmidzi, no. 2682, dll.)
Tatkala itu ada seorang mu’tazilah ikut hadir bersama kami. Ia melecehkan hadis tersebut seraya berkata: “Demi Allah, besok akan aku penuhi alas kakiku dengan paku untuk menginjak sayap malaikat.”
Ternyata ia benar-benar melakukannya. Dan tatkala ia berjalan dengan alas kakinya itu, tiba-tiba kedua kakinya langsung lumpuh dan seketika itu pula keduanya dipenuhi dengan ulat (belatung).
Ath-Thabrani juga bercerita: Aku pernah mendengar Abu Yahya Zakaria bertutur: Dahulu kami pernah berjalan di lorong kota Bashrah menuju majelis ulama hadis. Kami berjalan dengan tergesa-gesa. Dan pada waktu itu ada seorang yang fasik berjalan bersama kami. Lalu ia berkata seraya mengejek: Angkatlah kaki-kaki kalian dari sayap malaikat! Awas, jangan sampai merobeknya!
Dan anehnya, tiba-tiba kedua kaki orang itu langsung lumpuh dan ia jatuh tersungkur di tempatnya itu. [Miftah Dar as-Sa’adah, karya Ibnul Qayyim, jilid 1, hlm. 256-257, cetakan Dar Ibn Affan]
(3). Akibat Menyindir Rasulullah
Kisah yang lain lagi diceritakan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah dalam kitabnya Kalimat al-Haq, hlm. 149-153. Ia berkata: “Bahwasanya raja Fuad (Mesir) akan melaksanakan salat di masjid Abidin. Lalu diundanglah Syaikh Muhammad al-Mahdi, karena dia adalah seorang khatib yang pandai berbicara, dan raja Fuad senang salat di belakangnya. Mentri Waqaf pun telah menunjuknya sebagai khatib di masjid itu. Peristiwa itu bertepatan dengan datangnya Toha Husain yang baru saja merampungkan pendidikan S3 jurusan Sastra di Prancis. Raja Fuad adalah orang yang memberikan bea siswa kepadanya dan mengirimnya untuk belajar di Prancis.
Kemudian Muhammad al-Mahdi ingin menyanjung raja Fuad yang telah memuliakan seorang yang buta, yakni Toha Husain. Ia berkata:
مَا عَبَسَ وَ لاَ تَوَلَّى لَمَّا جَاءَهُ الأَعْمَى
Dia (raja Fuad) tidak bermuka masam dan tidak berpaling tatkala seorang buta datang kepadanya.
Dia berucap demikian dengan maksud untuk menyindir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana Allah ‘azza wa jalla berfirman:
عَبَسَ وَ تَوَلَّى أَنْ جَاءَهُ الأَعْمَى
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya.” (QS. ‘Abasa: 1 – 2)
Jika demikian, maka sikap raja Fuad lebih utama dari pada sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mata khatib yang telah menjual agamanya dengan harga murah dan segelintir logam dirham ini.
Pada waktu itu Syaikh Muhammad Syakir rahimahullah, ayah Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah ada di sana, yang mana ia bekerja sebagai wakil di masjid al-Azhar. Ia bangkit dan berkata: “Wahai sekalian manusia, salat kalian batal dan khatib kafir, maka itu ulangilah salat kalian.”
Hal itu mengakibatkan sedikit kegaduhan dan keributan. Namun raja Fuad hanya diam saja. Setelah itu Syaikh Muhammad pergi ke istana Abidin dengan membawa fatwa untuk raja dan memerintahkannya untuk mengulangi salat zuhur.
Namun Muhammad al-Mahdi adalah orang yang memiliki banyak pembela dan penasihat. Mereka menyuruhnya untuk melayangkan surat gugatan kepada hakim atas pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad Syakir.
Sedangkan Syaikh Muhammad Syakir mengirim surat kepada para orientalis asing yang memiliki ilmu dan pengalaman atas kandungan makna ungkapan-ungkapan Arab. Di dalam surat itu ia bertanya, apakah ucapan khatib –Muhammad al-Mahdi- ini mengandung sindiran terhadap Nabi mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Sengaja beliau tidak pergi datang kepada ulama al-Azhar agar tidak dikatakan beliau mencari dukungan dari mereka (sebab beliau merupakan ulama al-Azhar). Tatkala diketahui bahwa kasus ini akan berbuntut fitnah dan khatib itu pasti kalah di pengadilan, maka para penasihatnya melarang Muhammad al-Mahdi untuk melanjutkan kasus itu ke pengadilan.
(Ketika bercerita kisah ini) Syaikh Muhammad Syakir bersumpah dengan nama Allah dan berkata: “Sungguh, aku melihat kejadian ini dengan kedua mataku, dan waktu telah lama berlalu dari orang ini (Muhammad al-Mahdi), yang mana dahulu ia termasuk khatib besar kota Mesir yang begitu masyhur, sampai-sampai raja Fuad semangat untuk salat di belakangnya, sungguh aku telah melihatnya begitu hina-dina, ia menjadi tukang bersih-bersih dan penitipan alas kaki di salah satu masjid. Aku sengaja bersembunyi darinya -karena dia mengenalku dan aku pun mengenalnya- agar dia tidak melihatku. Aku tidak merasa iba dengannya, sebab dia tidak layak mendapatkan rasa iba dari-ku.”
Sungguh Allah telah menyegerakan baginya balasan buruk di dunia sebelum di akhirat. Kita berlindung kepada Allah dari dicampakkan oleh-Nya. [Kalimah al-Haq, karya Syaikh Ahmad Syakir, hlm. 149-153]
BELAJAR DARI PENGALAMAN
Inilah tiga kisah dari orang-orang sebelum kita –dan kisah seperti ini yang lainnya masih banyak lagi-, bagaimana mereka meragukan, melecehkan atau menentang sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya berakibat kepada turunnya azab dari Allah.
Maka itu, hendaklah orang-orang yang masih meragukan, melecehkan, mengolok-olok, merendahkan, menghinakan, menentang atau mengingkari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera bertaubat dan kembali kepada Allah ta’ala dengan segala penyesalan. Hendaklah mereka jera dari menyalahi atau menyelisihi ajaran Islam. Hendaklah mereka belajar dari pengalaman, bahwa kesudahan buruk akan menimpa siapa saja yang melecehkan sunnah Nabi-Nya, cepat atau lambat. Dan hendaklah mereka juga mengubah gaya hidup yang buruk menjadi pola hidup yang sesuai dengan syariat Islam, yang dapat menghantarkan setiap orang kepada kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat.
Hanya kepada Allah-lah kita bertaubat dan memohon ampunan. Karena hanya Dia-lah Rabb Pemberi taufik para hamba-Nya lagi Maha mengampuni segala dosa dan kesalahan. Tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Rabbul ‘Alamin. Wallahu ta’ala a’lam.
Kalisari, 10 al-Muharram 1435 H/14 November 2013
Abu Musa al-Atsari