Begitu indah keputusan Allah subhanahu wa ta’ala ketika menjadikan sebagian makhluk lebih mulia dari pada makhluk lainnya. Sebagaimana Dia menjadikan suatu tempat lebih mulia dari tempat lainnya. Masjidil haram, masjid Nabawi, dan masjidil Aqsa adalah bukti nyata dari pernyataan tersebut. Selain itu, alangkah eloknya kehendak Allah tatkala memutuskan bulan tertentu lebih utama dibanding bulan lainnya. Bulan Ramadhan, Syawal, Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah merupakan contoh nyatanya. Dan tak ketinggalan bulan al-Muharrom, yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah, demikian pula di tengah-tengah kita kaum muslimin.
AL-MUHARROM BULAN PERTAMA TAHUN HIJRIYYAH
Bulan al-Muharrom merupakan bulan pertama dari bulan-bulan Islam yang jumlahnya dua belas bulan. Allah telah mengisyaratkan penyebutan bulan al-Muharrom di dalam firman-Nya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. at-Taubah: 36)
Yang dimaksud dengan empat bulan haram adalah sebagaimana yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun sejumlah dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan berurutan; yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan al-muharrom, dan Rojab Mudhor yang ada di antara bulan Jumada (Tsaniyah) dan Sya’ban. (HR. al-Bukhari)
Dinamakan Rojab Mudhor, karena mereka (kabilah Mudhor) mengagungkan hari tersebut, seakan-akan bulan tersebut dikhususkan hanya bagi mereka.
NABI MENYEBUT AL-MUHARROM DENGAN “BULAN ALLAH”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمِ
Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah al-Muharrom. (HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad)
Penyandaran kata al-Muharrom kepada Allah menunjukkan akan kemuliaan dan keutamaan bulan tersebut. Apalagi tidak ada bulan lain yang disandarkan kepada Allah ta’ala. Perlu diketahui bahwa Allah tidak menyandarkan diri-Nya kepada makhluk melainkan hal itu menunjukkan keutamaan makhluk tersebut, dan hadis di atas tentu saja menunjukkan keutamaan bulan al-Muharrom.
As-Suyuthi rahimahullah berkata: “Aku ditanya, mengapa al-Muharrom dikhususkan dengan ucapan ‘bulan Allah’ sedangkan bulan-bulan lainnya tidak, padahal bulan lain ada yang setara atau lebih utama seperti Ramadhan? Jawaban tepatnya ialah, nama tersebut adalah nama Islami sedangkan bulan-bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyyah. Dahulu di zaman jahiliyyah, al-muharrom namanya Sofar al-Awwal (Sofat pertama), dan yang setelahnya adalah Sofar ats-Tsani (Sofar kedua). Ketika Islam datang, Allah azza wa jalla memberikan nama kepadanya dengan al-muharrom, sehingga disandarkan kepada Allah karena alasan tersebut.” (ad-Dibaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj)
AL-MUHARROM NAMA ISLAMI
Sebagaimana ucapan as-Suyuthi di atas, dahulu bulan al-Muharrom pada zaman jahiliyyah disebutkan dengan Sofar al-Awwal (Sofar pertama). Kemudian setelah datang Islam, Allah merubahnya menjadi al-Muharrom. Maka itu, setelah berlalunya masa Jahiliyah, dimakruhkan menamakan bulan al-Muharrom sebutan Sofar al-Awwal, karena hal itu adalah penamaan ala Jahiliyah. Demikian yang dijelaskan oleh an-Nawawi rahimahullah di dalam al-Adzkar.
Syaikh Bakar Abu Zaid rahimahullah berkata: “Sesungguhnya nama bulan al-Muharrom dahulu di zaman jahiliyyah dinamakan Sofar al-Awwal, sedangkan penamaan al-Muharrom merupakan istilah Islam. Inilah yang dipegang oleh sebagian pakar bahasa. (Mu’jam al-Manahi al-Lafzhiyyah)
Namun sebagian ulama menjelaskan bahwa nama al-Muharrom sudah ada sebelum datangnya Islam. Allahu a’lam.
NABI BERKATA “AL-MUHARROM” BUKAN MUHARROM
Faedah bahasa yang perlu disampaikan, bahwa dalam banyak riwayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya dengan al-Muharrom, dengan kata al di depannya. Hal ini dapat diketahui dari riwayat-riwayat yang ada, di antara riwayat al-Bukhari di atas. Di hadis yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمِ
Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah al-Muharrom. (HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad)
Tidak ada bulan-bulan hijriyyah yang kemasukan alif lam selain bulan al-Muharrom. Sedangkan bentuk jamak dari al-Muharrom adalah al-Muharromaat, al-Maharim, dan al-Mahaariim, sebagaimana disebutkan dalam al-Qaamuus al-Muhiith.
BULAN PALING UTAMA UNTUK BERPUASA SETELAH RAMADHAN
Bulan al-Muharrom merupakan bulan yang begitu utama untuk dilaksanakan padanya puasa setelah bulan Ramadhan. Pada hadis di atas ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa “puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah pada bulan Allah al-Muharrom.” (HR. Muslim, dll.)
Tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan puasa pada bulan al-Muharrom selain puasa Asyuro. (Asyuro, Syaikh Ali al-Halabi)
SEPUTAR AMALAN BULAN AL-MUHARROM
Pembahasan ini terbagi menjadi dua poin penting:
Pertama, amalan yang tidak ada tuntunannya
Tidak ada satupun hadits shohih yang menjelaskan adanya DOA atau DZIKIR tertentu pada awal al-Muharrom. Demikian pula, tidak ada perintah untuk mengerjakan SHOLAT atau PUASA yang dikhususkan pada hari pertama di bulan al-Muharrom, baik dikerjakan pada malam harinya atau siang harinya dengan tujuan membuka tahun baru. Demikian pula puasa pada hari terakhir di bulan Dzulhijjah dengan tujuan menutup tahun. Atau juga mengerjakan UMROH. Semua itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Syamah rahimahullah berkata: “Tidak ada satupun keterangan tentang (keutamaan menghidupkan) malam pertama bulan al-Muharrom. Sungguh aku telah jauh meneliti riwayat-riwayat yang shohih, dha’if, atau bahkan maudhu’, tapi satupun tidak aku dapatkan. Aku sangat khawatir, wal ’iyadzubillah, ada pendusta yang mengarang-ngarang hadits seputarnya.” (al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits)
Bagi siapa saja yang menetapkan ada amalan tertentu pada awal bulan al-Muharrom hendaknya ia mendatangkan dalil yang shahih. Barang siapa yang beramal tanpa ada perintah atau petunjuk dari Allah dan rasul-Nya, maka ia telah berbuat hal baru dalam agama (bid’ah) yang sesat dan menyesatkan. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa, “Siapa saja yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amalan tesrebut tertolak.” (HR. Muslim)
Beberapa contoh ritual al-Muharrom yang menyelisihi syariat islam:
(1). Menjadikan hari pertama (tanggal 1) al-Muharrom sebagai hari raya
Di dalam Islam hanya ada dua hari raya yang boleh dirayakan, keduanya yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, sementara penduduknya memiliki dua hari raya, mereka bersenang-senang di dua hari tersebut. Beliau bersabda:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
“Aku datang kepada kalian, sementara kalian memiliki dua hari raya yang mana kalian bersenang-senang padanya. Sesungguhnya Allah telah mengganti bagi kalian dengan dua hari raya yang lebih baik dari keduanya; yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i & al-Baghowi. Shohih)
Baik hari tersebut diisi dengan peringatan tahun baru Islam di masjid atau tempat lain dengan mengadakan muhasabah, pengajian khusus, sholat khusus, atau ritual khusus lainnya. Seluruhnya tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sementara itu kita ketahui bersama, mereka adalah sebaik-baik umat. Andaisaja amalan tersebut baik, niscaya mereka semua telah mengerjakannya.
Demikian halnya dengan orang yang merayakannya karena hari tersebut adalah hari pertama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke kota Madinah. Padahal yang benar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah bukan pada bulan al-Muharrom, namun pada awal-awal bulan Rabiul Awal, pada tahun ke-13 dari tahun kenabian, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah.
(2). Pesta yang dilakukan orang-orang Syi’ah Rofidhoh yang menjadikan hari tersebut sebagai hari berkabung dan duka cita. Sebaliknya, orang-orang Khowarij malah menjadikannya sebagai hari bersuka cita, bergembira ria.
Orang-orang Rofidhoh mengerjakan itu semua lantaran memperingati hari kematian al-Husain bin Ali di padang Karbala`. Mereka berkumpul, menangis, berteriak, histeris, dan berpawai berkeliling kota seraya melukai badan dan kepala mereka dengan besi dan rantai.
Ketahuilah semua itu adalah perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Nabi. Cukuplah satu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut yang menjelaskan keburukan ritual tersebut:
اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ
“Ada dua hal yang dikerjakan manusia, yang mana keduanya adalah kekufuran; mencela nasab atau meratapi mayit.” (HR. Muslim, no. 236)
Syiah Rofidhoh merupakan sekte menyimpang yang memiliki ajaran yang super duper sesatnya. Mereka mencela Aisyah radhiyallahu ‘anha habis-habisan. Demikian pula Abu bakar, Umar dan banyak sahabat lainnya yang tidak selamat dari lisan mereka yang terkutuk. Mereka memiliki al-Qur`an sendiri (mushaf Fathimi). Mereka memiliki akidah taqiyyah yang membolehkan berdusta, sehingga mereka lebih berbahaya dari pada non muslim yang secara terang-terangkan menampakkan kekufurannya. Bahkan, di antara pecahan mereka, hingga ada yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah tuhan. Dan masih banyak lagi peyimpangan dan ajaran sesat dan menyesatkan sekte Syiah Rofidhoh. Wa na’udzu billahi min dzalik.
Berkebalikan dari apa yang dilakukan sekte Rofidhoh, sekte Khowarij pada hari Asyuro justru menampakkan kebahagiaan dan menjadikannya sebagai hari suka cita. Mereka membuat-buat ritual-ritual baru yang dianggapnya termasuk agama, seperti MEMAKAI CELAK, MEWARNAI KUKU, MELEBIHKAN UANG BELANJA KEPADA KELUARGA, BERLEBIH-LEBIHAN DALAM MEMASAK, dan sederet ritual semu lainnya. Mereka menjadikan hari itu sebagai hari raya. (al-Bida’ al-Hauliyyah karya Syaikh Abdullah at-Tuwaijiri)
Kedua ritual tersebut tidak berdasarkan kepada ilmu, namun berdasarkan kepada hawa nafsu. Haram bagi seorang muslim untuk mengerjakannya.
(3). Keyakinan dan amalan lainnya yang tidak berdasar kepada agama Islam.
Di antaranya adalah, TIRAKATAN pada malam satu suro, SADRANAN atau melarung nasi tumbeng beserta lauk-pauknya ke laut pantai utara, kirab kebo bule KIAI SLAMET, keyakinan tidak bolehnya hajatan dengan alasan dapat mendatangkan kesialan, JAMASAN atau kirab keris disekeliling keraton, dan masih banyak keyakinan-keyakinan lainnya yang sangat bertentangan dengan akidah Islam.
Kedua, amalan yang ada tuntunannya
Sedangkan amalan yang disunnahkan untuk dikerjakan pada bulan al-Muharrom adalah berpuasa pada hari Asyuro, yaitu hari kesepuluh dari bulan tersebut. Puasa Asyuro termasuk sunnah Nabi Musa ‘alaihissalam. Beliau melakuannya sebagai rasa syukur kepada Allah, karena pada hari itu Allah menyelamatkan dirinya dan kaumnya dari Fir’aun. Sebaliknya, Allah meneggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya di laut merah.
Adapun keutamaan dari puasa Asyuro adalah, puasa paling utama setelah puasa bulan Ramadhan, dan dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu.
Pelaksanaannya bisa dengan tiga cara, tanggal ke-10 saja, ke-9 dan ke-10, atau ke-9, 10, 11. Cara yang terbaik adalah cara kedua, yaitu tanggal 9 dan 10 bulan al-Muharrom. Keterangan praktis tentang puasa Asyuro dapat dibaca di sini.
Inilah serba-serbi seputar bulan al-Muharrom yang bisa kami sampaikan. Semoga kita dapat mengambil ilmunya. Kemudian menjauhi hal-hal yang tidak dicontohkan Nabi, dan semoga kita dapat mengamalkan hukum-hukum yang dicontohkan oleh Nabi kita. Wallahu ta’ala a’lam.