Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah adalah salah satu pakar fikih dari kalangan Tabi’in. Beliau memiliki kisah apik tersendiri dengan al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi, seorang penguasa yang terkenal dengan aniaya, ratusan jiwa melayang di tangannya. Sebuah kisah yang menunjukkan akan pentingnya ketegasan dan keberanian. Coba kita perhatikan bersama sebuah kisah yang disuguhkan oleh seorang Tabi’in, Sa’id bin al-Musayyib.
Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan:
“Pada suatu hari (di Mekah), al-Hajjaj bin Yusuf shalat di samping Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah –tanpa ada orang lain di antara keduanya-. Ternyata al-Hajjaj bangkit (berdiri) sebelum Imam bangkit, dan ia sujud sebelum Imam sujud. Seusai mengucap salam, Sa’id langsung memegang erat-erat ujung selendang al-Hajjaj, -dan ia terus merampungkan dzikir setelah shalat yang biasa dibaca-. Al-Hajjaj terus-menerus menarik selendangnya hingga akhirnya Sa’id selesai dari dzikirnya. Lalu beliau menghadapkan wajahnya ke al-Hajjaj dan berseru: Pencuri! penghianat! Seperti inikah shalatmu?! Sungguh, aku ingin sekali menampar wajahmu dengan alas kakiku ini.”
Anehnya, al-Hajjaj tidak mampu membalas meskipun hanya dengan sepatah kata. Kemudian al Hajjaj pergi meneruskan ibadah hajinya.
Sekembalinya al-Hajjaj ke negeri Syam, ia diangkat menjadi pemimpin kota Hijaz. Pada saat Ibnu az-Zubair terbunuh, al-Hajjaj kembali lagi ke kota Madinah untuk menjadi pemimpin di sana. Tatkala masuk ke masjid, tiba-tiba ia melihat majlis taklim Sa’id bin al-Musayyib. Ia pun bergegas menuju ke majlis itu. Orang-orang mulai khawatir akan keselamatan Sa’id bin al-Musayyib dari tindakan jahat al-Hajjaj. Ia datang ke majlis itu lalu duduk di hadapan Sa’id.
Ia bertanya: Engkau yang mengisi taklim ini?
Sa’id memukul dada al-Hajjaj dengan tangannya seraya menjawab: Ya!.
al-Hajjaj berkata: Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Guru dan Pengajar kebaikan. Tidaklah aku shalat setelah kejadian itu, melainkan aku selalu teringat dengan ucapanmu.
Kemudian al-Hajjaj bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Sa’id.”
[Al-Bidayah wa an-Nihayah, juz 9, hlm. 119 & 120. Dan dibawakan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman di kitabnya al-Qaul al-Mubin fi Akhta` al-Mushallin, hlm. 255]