Agar Penyakit Tak Menambah Hati Menjadi Sempit

Dalam mengarungi bahtera kehidupan dunia fana ini, manusia tidak selalu berada di atas, namun terkadang ia berada di bawah. Ia juga tidak akan senantiasa berada dalam kebahagiaan, tetapi terkadang ia merasakan kesedihan. Demikian pula dalam masalah kesehatan, tidak ada manusia yang hidup di dunia ini selalu dalam keadaan sehat wal afiyat. Akan tetapi, terkadang penyakit datang kepada dirinya, menyapa dirinya untuk waktu yang sementara.

Itulah dua sisi kehidupan manusia yang berbeda, kadang kala ia mendapatkan kenikmatan dengan berbagai macamnya dan kadang kala ia mendapatkan musibah dengan aneka ragam jenisnya. Kadang kala ia mendapatkan kemenangan, dan terkadang pula ia menelan kekalahan. Itu semua merupakan sunnatullah bagi setiap hamba-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

وَتِلْكَ اْلأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ.

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).” (QS. Ali Imron: 140)

Kiat-Kiat Agar Penyakit Tak Menambah Hati Menjadi Sempit

Berikut beberapa kiat agar penyakit tak menambah hati menjadi sempit:

1). Mengetahui bahwa penyakit merupakan takdir Allah

Ketahuilah, rukun Iman ada enam, di antaranya beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk. Kemudian perlu diketahui, tidak setiap orang akan mendapatkan takdir yang baik, terkadang ia mendapatkan takdir yang tidak baik, seperti penyakit, musibah, dll. Namun, bila kita perhatikan dengan seksama, takdir Allah yang manusia menganggapnya buruk tersebut, ternyata mengandung hikmah yang begitu mendalam. Di balik itu banyak hal yang Allah sediakan bagi hamba-Nya; sebagai teguran agar ia kembali ke jalan kebenaran, pahala bagi yang bersabar, dileburkannya dosa-dosa dan kesalahan, di akhirat dibalas dengan surga, dan ribuan hikmah lainnya.

Allah berfirman menjelaskan bahwa segala sesuatu telah Allah tetapkan dan tuliskan:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِيْ أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيْرٌ.

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. al-Hadid: 22)

Firman-Nya:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ.

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. at-Taghabun: 11)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa “sesungguhnya seorang dari kalian berada di perut ibunda  selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah sama seperti itu, kemudian menjadi sekerat daging sama seperti itu, lalu Allah mengutus malaikat kepadanya untuk menetapkan empat hal; amal perbuatannya, ajalnya, rezekinya, celaka atau binasa, kemudian ditiupkan kepadanya ruh.” (Muttafaqun ‘alaihi)

2). Mengetahui bahwa penyakit yang menimpa seseorang adalah tanda cinta Allah kepada hamba.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan:

مَنْ يُرِدِ الله بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ.

“Siapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, niscaya Ia akan timpakan kepadanya musibah.” (HR. al-Bukhari)

Hal tersebut tidak hanya menimpa kita, namun telah menimpa manusia terbaik seperti para Nabi dan Rasul, sebagaimana mereka adalah manusia yang paling baik keimanannnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صُلْباً اِشْتَدَّ بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِيْ عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ.

“Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang yang semisalnya lalu orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Bila agamanya kuat maka ujiannya semakin berat. Namun bila agamanya lemah maka ia akan diuji sesuai dengan kadar agamanya tersebut. Dan ujian itu akan terus menimpa hamba hingga membiarkannya berjalan di atas muka bumi tanpa memiliki kesalahan sedikitpun.” (Hadits hasan shahih. Riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah dll.)

Itulah para nabi terdahulu yang telah banyak mendapatkan cobaan. Demikian pula apa yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَشَدَّ عَلَيْهِ الْوَجَعُ مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih berat penyakitnya dari para Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. al-Bukhari & Muslim)

3). Mengetahui bahwa penyakit sebagai kaffaroh bagi hamba.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ.

“Tidaklah seorang muslim yang merasakan keletihan, mendapatkan penyakit, kesedihan, gundah gulana, gangguan atau sesuatu yang menyesakkan hati, sampai-sampai duri yang menusuk kakinya, melainkan Allah pasti akan menghapuskan sebagian dari kesalahannya.” (HR. Muslim)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ، إِلاَّ حَطَّ اللَّهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا.

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit atau sejenisnya, melainkan dengan sebab itu Allah akan menggugurkan dosa-dosanya, seperti pohon yang menggugurkan dedaunannya.” (HR. al-Bukhari & Muslim)

4). Mengetahui bahwa cobaan dari Allah bukan hanya ada pada penyakit dan musibah, namun juga ada pada kekayaan dan harta.

Allah ta’ala berfirman:

وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ.

“Dan kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. al-A’raf: 168)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Kami uji mereka dengan kebaikan dan keburukan, dengan harapan mereka rujuk dari kekufuran dan kemaksiatan yang ada pada mereka.”

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً.

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. al-Anbiya`: 35)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Maksudnya, Kami (Allah) menguji kalian terkadang dengan musibah, terkadang dengan kenikmatan, agar kita mengetahui siapa yang bersyukur siapa yang kufur, siapa yang bersabar siapa yang berputus asa.”

5). Mengetahui bahwa penyakit menjadi sebab masuknya seorang hamba ke dalam surga.

Atho` rahimahullah berkata: “Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku: Maukah kamu aku beritahu seorang wanita penghuni surga?” “Tentu saja”, jawabku.

Ibnu Abbas berkata: “Wanita berkulit hitam itu, ia pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan dan auratku terkadang tersingkap tanpa aku sadari, maka itu berdoalah kepada Allah untukku.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau mau, engkau bisa bersabar maka bagimu surga. Dan jika engkau mau, aku bisa berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu.”

Ia berkata: “Aku bisa bersabar”. Lalu ia berkata: “Sesungguhnya auratku terkadang tersingkap tanpa aku sadari, maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap lagi.” Maka beliau berdoa bagi wanita itu. (HR. al-Bukhari & Muslim)

6). Mengetahui bahwa penyakit adalah cobaan dari Allah yang dapat mengingatkan kita dari kelalaian.

Penyakit menjadi teguran bagi kita yang mungkin sudah terlalu jauh dari jalan Allah. Sengaja Allah menegur kita dengannya agar kita kembali kepada jalan yang lurus. Karena biasanya, ketika seorang dalam keadaan sehat dan kuat, maka ia akan melakukan apa saja yang ia kehendaki, tidak peduli halal dan haram. Namun, dalam kondisi lemah dan susah, akan begitu mudah baginya untuk mengingat Allah dan kembali ke jalan kebenaran.

Jika demikian, jangan sampai seseorang mencela penyakit. Suatu ketika Ummu as-Sa’ib berkata di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Semoga Allah tidak memberkahi demam.” Mendengar itu beliau meluruskan: “Janganlah engkau mencela demam, sesungguhnya ia dapat melenyapkan dosa-dosa anak Adam sebagaimana bara api menghilangkan kotoran pada besi. (HR. Muslim)

7). Mengetahui bahwa orang yang sabar ketika tertimpa penyakit maka baginya kebaikan, dan sebaliknya bahwa orang yang tidak sabar maka ia tidak akan mendapat pahala dan kebaikan dari penyakit tersebut.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا  ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ  ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.

“Alangkah menakjubkan urusan seorang mukmin. Sungguh, semua urusannya baik. Dan hal itu tidak didapat kecuali oleh mukmin; bila ia memperoleh kenikmatan lalu bersyukur maka itu baik baginya, dan bila ia tertimpa suatu musibah lalu bersabar maka itu baik pula baginya.” (HR. Muslim)

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *